Gagasan Malaysia Baharu 13 Mei 2018

Imagine Dragons - Mad World (Lyrics + Terjemahan)

Monday, 10 October 2016

Kisah Mujahid Muda Yang Menakjubkan

Arkib : 10 Oktober 2016. Teks ini disediakan dalam bahasa Indonesia

Kisah Mujahid Muda Yang Menakjubkan 


Hari itu, di salah satu sudut Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.

Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu kerana Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lain. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.

Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah perkara yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan detik-detik pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad.

"Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu," tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.

"Ya," jawab Abu Qudamah.

Beberapa tahun lalu. Aku singgah di bandar Recca. Aku ingin membeli unta untuk membawa persenjataanku.

Saat aku sedang berehat di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka ternyata seorang perempuan.

"Engkaukah Abu Qudamah?" tanyanya.

"Engkaukah yang menggalakkan umat manusia untuk berjihad?pertanyaannya yang kedua.

"Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku tocang agar boleh menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupnya dengan debu agar tak terlihat. Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan semasa menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.  Kalau pun engkau tak memerlukan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebahagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.  Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat membenarkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya," ungkapnya sambil menyerahkan kepangan rambutnya.

Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan "Iya".

"Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya. Ia telah menghafal Al-Qur'an. Ia mahir menunggang kuda dan memanah. Ia senantiasa solat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala," kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.

Ada pun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sedar perhatian saya tertumpu pada kepangan rambutnya.

"Letakkanlah dalam barang begmu agar kalbuku tenang," pintanya.

Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.

Aku pun segera meletakkan bersama-sama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan hikmah (tekad) nya yang begitu mengharukan. Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.

"Abu Qudamah!" Serunya.

"Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu."

Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan! ️ 

"Tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini."

Dia menghampiri dan memelukku.

"Alhamdulillah, Allah memberi saya peluang menjadi pasukanmu, sungguh dia tidak ingin aku gagal," katanya.

"Kawan, singkaplah kain penutup kepala dahulu," pintaku.

Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan.

"Kawan, apakah engkau mempunyai Abi?tanyaku.

"Justeru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia (insya Allah) telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi, " jawabnya.

"Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah beliau. Sungguh baktimu lebih utama berbanding jihad. Memang, jannah di bawah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu."

"Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku."

"Tidak."

"Aku putra pemilik titipan itu, Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu."

"Aku, insya Allah, adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut berjihad fi sabilillah bersamamu. Aku telah menyelesaikan Al-Qur'an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah.Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya kerana aku masih belia."

Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan;

"Nak, jika kau telah melihat musuh, jangan pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadi tetangga abimu dan paman-pamanmu yang soleh di jannah. Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi syafa'at. Aku pernah mendengar faedah bahawa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang jirannya. Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit;

"Rabbku .. maulaku .. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku .. aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya," terang sang pemuda. 

Kata-katanya terus memecahkan benteng air mataku. Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku teresak-esak. Aku tak sanggup melihat wajahnya yang masih muda, namun begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak boleh membayangkan kalbu sang ibu. Betapa sabarnya ia.

Melihat aku menangis, sang pemuda bertanya, "Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat !?"

"Bukan," aku segera menyanggah.

"Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis kerana kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?"

Akhirnya aku menerimanya sebagai sebahagian dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu berzikir kepada Allah Ta'ala. Apabila pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Apabila pasukan berhenti rehat, ia yang paling aktif melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membara, semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya.  Kami terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas.

Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan. Memang, hari itu kami berpuasa. Dan kerana hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan sepanjang perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali sehingga kami iba membangunkan. Akhirnya, kami sendiri yang sediakan untuk kamu dan membiarkan si pemuda tidur. Pada masa tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang menghiasi wajahnya.

"Lihatlah, ia tersenyum!kataku pada teman kehairanan.

Setelah bangun, aku bertanya padanya,

"Kawan, ketika tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?"

"Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia," jawabnya.

"Ceritakanlah padaku!Pintaku penasaran.

"Aku seperti di sebuah taman hijau nan permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku untuk berjalan-jalan. Pada masa asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan istana perak, balkonnya daripada batu permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari emas. Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalang aku dari bahagian dalam istana. Namun tak lama, keluarlah gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya. Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, amboi cantiknya."

"Marhaban," kata salah seorang daripada mereka tahu ku memandanginya.

Aku pun tak tahan hendak menghulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata,

"Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru." Telinga saya juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka,

"Ini suami Al Mardhiyah."

Mereka berkata kepadaku, "Kemarilah, yarhamukalloh."

Baru sahaja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.

Mereka membawa saya ke atas istana. Di sebuah bilik, semuanya dari emas merah yang berkilauan indahnya.

Dalam bilik itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih. Dan di atasnya seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekadar rembulan !!

Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku kerana tidak kuasa menatap kecantikannya !!

"Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu.katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.

"Sebentar, Janganlah terburu-buru, Belum waktunya, Aku berjanji padamu, kita bertemu esok selepas solat Zohor. Bergembiralah. "

Sang pemuda mengakhiri kisahnya. Lalu, aku berusaha membangkitkan hikmahnya! ️ 

"Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya."

Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.

Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimasak, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat. Semangat pun semakin berkobar ketika mendengar hasungan,

"Wahai segenap para tentera Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat. "

Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana. Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin.

Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.Tiba-tiba aku membimbangkan pemuda itu. "Iya, di mana pemuda itu ... Di mana pemuda itu?"

Ku berusaha mencari di tengah medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyelak skuadron kuffar dan memporak perandakan barisan mereka.

Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati ini tak sanggup melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.

"Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran!" ️

"Kembalilah ke belakang," teriakku cuba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.

"Paman, tidakkah kau membaca ayat,

{{Wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang}} [Al Anfal: 15].

"Sudikah engkau aku masuk neraka?serunya menyoal kembali. 

Apabila saya cuba memahamkannya, serbuan kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin tidak menentu.

Dalam kancah pertempuran, terdengar derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah. Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau hanyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah.

Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabitan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-henti, menjadikan suhu memuncak. Kedua-dua pasukan bertempur habis-habisan.

Pada masa perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku bimbang dia termasuk yang terbunuh. Aku berkeliling memandu kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.

Di mana sang pemuda? Aku terus meneruskan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih,

"Kaum muslimin, panggilkan saudaraku Abu Qudamah kemari!"

Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan. Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu. Hampir aku tak mengenalinya.

Aku akan mendatanginya! ️ "Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!"

Isakku tak kuasa menahan tangis. Aku sisingkan sebahagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah polosnya.

Bapa saudara, demi Rabb Ka'bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah putra ibu pemilik rambut tocang itu. Aku telah berbakti padanya, ku kucup dahinya dan ku keluarkan debu dan darah yang kadang-kadang mengalir di wajahnya, "Kenangnya. Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.

"Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa'at nanti pada hari kiamat."

"Orang sepertimu tak kan pernah kulupakan.

"Jangan!" Serunya lagi apabila saya cuba mengusap wajahnya.

"Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, bapa saudara."

"Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya; sayang, bersegeralah, Aku rindu. Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah mensia-siakan petuanya. Juga agar beliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah. Paman, ketika berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya kira-kira sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambut saya. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan.  Saat ku meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali."

"Kak, cepat pulang, ya."

Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telinga saya.

"Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari kiamat," kata-katanya terus membuat air mataku meleleh. Menitis dan terus menitis membuat aliran sungai di pipi.

"Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya."

Itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya. Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya. Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuan saya hanyalah ibu si pemuda.

Malangnya aku, aku belum mengetahui nama si pemuda dan di mana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh bandar Recca. Setiap sudut, lorong dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis kecil. Wajahnya bersinar mirip si pemuda.

Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya,  "Paman, anda datang dari mana?"

"Aku datang dari jihad," kata lelaki itu.

"Kalau begitu kakakku ada bersamamu?tanyanya.

"Aku tak kenal, siapa kakakmu." kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, "Paman, anda datang dari mana?"

"Aku datang dari jihad,"jawabnya.

"Kakakku ada bersamamu?" Tanya gadis itu.

"Aku tak kenal, siapa kakakmu." jawabnya sambil berlalu.

Gadis itu pun tak boleh menahan rindu kepada sang kakak. Sambil teresak-esak, dia berkata:

"Mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?"

Aku iba kepadanya. Ku cuba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.

"Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang."

Mendengar suaraku, sang ibu keluar.

"Assalamu'alaiki," salamku.

"Wa'alaikum salam," jawabnya.

"Engkau ingin memberiku khabar gembira atau berbela sungkawa?lanjutnya.

"Maksud, ibu?"

"Jika putraku datang dengan selamat, berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid, bererti engkau kemari membawa kabar gembira," terangnya.

"Bergembiralah. Allah telah menerima hadiahmu."

Ia pun menangis terharu.

"Benarkah?"

"Iya."

Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.

"Alhamdulillah. Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di hari kiamat,"
pujinya kepada Zat Yang Maha Kuasa.

Para sahabat Abu Qudamah mendengar kisahnya dengan penuh kekaguman.

"Lalu gadis kecil itu bagaimana?tanya salah seorang daripada mereka."

Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya,

"Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti".

Tiba-tiba dia menangis sekuat-kuatnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sedarkan diri. Dan selepas itu nyawanya tiada.

Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar atas semua musibah yang menimpanya. Aku benar-benar terharu melihat kejadian ini. Aku serahkan padanya beg wang, berharap dapat mengurangi bebannya.Sang ibu pun melepas kepergianku. Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis kecil itu kepada kakaknya ... (SELESAI).

----------------------

Ya Rohman Ya Rohiim Kabulkanlah seuntai doa kami. Memang terasa berat meniti jalan jannah-Mu. Syahwat yang selalu menyambar, Syubhat yang terus menghentam, syaitan yang tak pernah menyerah dan nafsu jahat yang sentiasa memberontak. Sedangkan kalbu ini lemah, ya Rabb. Kalaulah bukan kerana-Mu, tidaklah kami ini berislam. Tidak pula mengerjakan solat, tidak pula bersedekah. Teguhkanlah kaki kami di atas jalan-Mu ini! Aamiin Ya Robbal'alamiin.


No comments:

Post a Comment

Featured post

Alamat Bengkel Kereta Melayu Islam / Bumiputera seluruh Malaysia

Alamat Bengkel Kereta Melayu seluruh Malaysia! Baca alamat sampai habis dan ada link download disediakan! Jika ada maklumat tambahan al...